Rabu, 23 Januari 2013

Pejuang pembebasan, Liwa al-Islam peroleh misil anti pesawat SAM-8

10/12/2012 | Pejuang pembebasan suriah, Liwa al-Islam mendapatkan rampasan perang berupa misil anti pesawat berupa SAM-8 (9K33 OSA-AKM SA-8 Gecko) – Surface to Air Missile system. The 9K33 Osa (Bahasa Russian: Оса; Bahasa English: wasp) merupakan sistem misil tembak permukaan darat ke udara jarak pendek dg ketinggian rendah. “9K33″ merupakan rancangan GRAU. Pasukan NATO menyebutnya SA-8 Gecko. Sistem ini dirancang terutama untuk menembak pesawat jet dan helikopter dengan cuaca tertentu.

Senin, 21 Januari 2013

KHILAFAH: JANJI ALLAH

Oleh Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ)
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (An-Nûr:55-56).

Imam Al-Baidhawi di dalam Tafsir al-Baydhawi menyatakan:
Frasa لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ artinya adalah: menjadikan mereka para khalifah pengatur bumi yang akan mengatur semua kekuasaan di dalam kekuasaan mereka. Hal itu sebagaimana halnya Allah telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai penguasa, yakni Bani Israil yang berkuasa atas Mesir dan Syam setelah runtuhnya kekuasaan al-Jababirah (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, IV/197).

Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-’Azhim berkata:
هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم . بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح البلاد، وتخضع لهم العباد،
،…
"Ini adalah janji dari Allah swt kepada Rasulullah saw, bahwasanya Dia akan menjadikan umatnya (umat nabi Muhammad saw) sebagai khulafa` al-ardl, yakni: pemimpin-pemimpin manusia dan penguasa atas mereka; dan dengan mereka negeri-negeri diperbaiki dan seluruh manusia tunduk kepada mereka”.

Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsîr Ibn Katsîr menyatakan:
هذا وعد من الله لرسوله صلى الله عليه وسلم . بأنه سيجعل أمته خلفاء الأرض، أي: أئمةَ الناس والولاةَ عليهم، وبهم تصلح البلاد، وتخضع لهم العباد،…
"Ini adalah janji dari Allah swt kepada Rasulullah saw, bahwasanya Dia akan menjadikan umatnya (umat nabi Muhammad saw) sebagai khulafa` al-ardl, yakni: pemimpin-pemimpin manusia dan penguasa atas mereka; dan dengan mereka negeri-negeri diperbaiki dan seluruh manusia tunduk kepada mereka, …

Di dalam beberapa hadis sahih, Nabi Muhammad saw. telah mengabarkan kabar gembira (bisyarah) kepada kaum Muslim tentang kekuasaan umat Islam yang mencakup seluruh muka bumi. Rasulullah saw. antara lain pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبِهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُرِيَ لِي مِنْهَا…
Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepadaku." (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam hal ini Imam an-Nawawi asy-Syafii ra. juga menyatakan:
…فِيْهِ إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ مُلْكُ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَكُوْنُ مُعْظَمُ اِمْتِدَادِهِ فِيْ جِهِتَي الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَهَكَذَا وَقَعَ وَأَمَّا فِيْ جِهَتَيْ الْجُنُوْبِ وَالشِّمَالِ فَقَلِيْلٌ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) pada arah timur dan barat. Inilah yang telah terjadi. Adapun pada arah selatan dan utara maka itu lebih kecil jika dinisbahkan pada timur dan barat (Imam Syams al-Haqq al-’Azhim, ’Awn al-Ma’bud bi Syarh Sunan Abu Dawud, IX/292).
Rasulullah saw. pun bersabda pula:
يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya (HR. Muslim).
Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abi Hazim, ia berkata : ”aku mengikuti mejelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan aku mendengar ia menyampaikan hadits dari Nabi saw, Beliau pernah bersabda :
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ، قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku, dan akan ada para Khalifah, dan mereka banyak.” Para sahabat bertanya: “lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi bersabda : “Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa yang mereka diminta untuk mengatur dan memeliharanya” (HR. Muslim al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, "Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, "Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad]
Takhrij Hadits
Hadits ini bersumber dari Musnad Imam Ahmad, hadits no.17680, juga musnad al Bazzar (no. 2796). Riwayat ini termasuk hadits marfu’ (bersambung hingga sampai Rasulullah saw).
Tentang Perowi Hadits:
1. Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy. 
Nama Lengkap : Sulaiman bin Daud bin Al Jarud
Kalangan : Tabi’ut Tabi’in kecil (shugra min al-atbaa’)
Nasab : al-Thayaalisiy.
Kunyah: Abu Dawud.
Negeri semasa hidup : Bashrah
Wafat : 204 H di Bashrah
Guru-gurunya: Aban bin Yazid, Ibrahim bin Sa’ad bin Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Bakar bin ‘Isyasy bin Salim, Ishaq bin Sa’id bin ‘Aman bin Sa’id bin al-’Ash, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir, Asy’ats bin Said, Bustham bin Muslim bin Numair, Tsabit bin Yazid, Jarir, bin Hazm bin Zaid, Habib bin Abu Habib Yazid, Harb bin Syaddad, Huraisy bin Salim, Al-Hasan bin Abi Ja’far ‘Ijlaan, al-Hakam bin ‘Athiyyah, Himad bin Salamah bin Dinar, Humaid bin Abi Humaid Mahran, Kharijah bin Mush’ab bin Kharijah, Khalid bin Dinar, Dawud bin Abi al-Farat ‘Amru bin al-Farat, Dawud bin Qais, Rubbah bin ‘Ubadah bin al-’Ilaa`, Zaidah bin Qudamah, Zum’ah bin Shalih, Dawud bin Ibrahim, Zuhair bin Mohammad, dan lain-lain.
Murid-murid yang meriwayatkan hadits darinya adalah, Ahmad bin Ibrahim bin Katsir, Ahmad bin ‘Abdullah bin ‘Ali bin Suwaid bin Manjuf, Ahmad bin ‘Ubadah bin Musa, Ahmad bin Mohammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad, Ishaq bin Manshur bin Bahram, Hujjaj bin Yusuf bin al-Hujjaj, Al-Hasan bin ‘Ali bin Mohammad, Khalifah bin Khiyaath bin Khalifah bin Khiyaath, dan lain sebagainya.

KHILAFAH: AMAL PERBUATAN JAMA'I

Oleh: Iskandar Syaiful Badran di Khilafah Khilafah saat ini menjadi perjuangan besar kaum Muslim secara berjama'ah. Mengingat penderitaan yang sudah sekian lama dialami oleh kaum Muslim semenjak runtuhnya daulah Islam 3 Maret 1924 M, maka sudah waktunya kaum Muslim ini menyatu dalam satu perjuangan yang khas. Perjuangan menegakkan Syariah dan Khilafah. Allah SWT., berfirman:
 إِنَّ اللهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."(QS ar-Ra’du:11)
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Q.S Ali Imran : 104)

Imam At Thabari dalam Jâmi’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an:
جَمَاعَةٌ يَقُوْلُ: أُمَّةٌ" الْمُؤْمِنُوْنَ أَيُّهَا مِنْكُمْ" وَلْتَكُنْ
[Hendaknya ada dari kalian]: wahai orang-orang yang beriman: sebuah "ummah", Abu Ja’far menyebutkan: "Jama’ah 
يَعْنِي إِلىَ اْلِإسْلاَمِ وَشَرَائِعِهِ الَّتيِ شَرَعَهَا اللهُ لِعِبَادِهِ =" ,="يَدْعُوْنَ" النَّاسَ="إِلَى الْخَيْر
وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ"، يَقُوْلُ يَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِاتِّبَاعِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدِيْنِهِ الَّذِيْ جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ
 "وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ"،: يَعْنِي َويَنْهَوْنَ عَنِ الْكُفْرِ باِللهِ وَالتَّكْذِيْبِ بِمُحَمَّدٍ وَبِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللهِ 
Yang menyeru manusia kepada "al-khair (kebaikan)", yaitu: kepada Islam dan syariat Islam yang telah Allah syariatkan kepada hamba-hambaNya. "Memerintahkan yang makruf", beliau berkata: "Memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw dan agama yang diturunkan kepadanya dari sisi Allah swt". "Mencegah dari kemungkaran", yaitu: "Mencegah dari kufur kepada Allah dan mendustakan kenabian Muhammad saw dan apa yang dibawanya dari sisi Allah swt", 

Al Hafidz Ibnu Katsir, dalam tafsir al-Quran al’Azhim: 
وَالْمَقْصُوْدُ مِنْ هَذِهِ اْلآيَةِ أَنْ تَكُوْنَ فِرْقَةٌ مِنَ اْلأُمَّةِ مُتَصَدِّيَةً لِهَذَا الشَّأْنِ،
"Maksud dari ayat ini adalah; hendaknya ada firqah (kelompok) dari umat Islam yang berjuang untuk urusan tersebut.

KHILAFAH: SATU PEMMIMPIN, SATU NEGARA


Oleh: Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
Khilafah bukan negara Nasionalisme. Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia.
Abdullah bin Amr bin Ash ra. pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ
"Siapa saja yang telah membaiat seorang imam, lalu kepadanya ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sekuat kemampuannya. Kemudian, jika ada orang lain yang hendak merebutnya, maka penggallah leher orang lain tersebut! "(HR Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa setelah seorang pemimpin (imam) dibaiat, maka kaum Muslim wajib menaati dia, dan tidak boleh membiarkan adanya pemimpin yang lain. Abu Said al-Khudri ra. Juga mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا
"Jika dua orang khalifah dibaiat maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya!" (HR Muslim).
Hadis ini menjelaskan bahwa kaum Muslim tidak boleh memiliki lebih dari seorang pemimpin di seluruh dunia.
Semua ini menunjukkan keharaman memecah kesatuan umat ke dalam dua pemerintahan atau lebih. Artinya, haram menjadikan negara Islam terdiri dari beberapa negara, melainkan wajib hanya satu negara.

Imam An-Nawawi (w. 676 H), dalam kitab Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, berkata:
« واتفق العلماء على أنه لا يجوز أن يعقد لخليفتين في عصر واحد سواء اتسعت دار الإسلام أم لا »
“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.”

Imam Ibnu Katsir (w. 774 H), dalam kitab Tafsir al-Qur’anul Adzhim mengatakan:
فأما نصب إمامين في الأرض أو أكثر فلا يجوز لقوله عليه الصلاة والسلام : « من جاءكم وأمركم جميع يريد أن يفرق بينكم فاقتلوه كائنًا من كان » . وهذا قول الجمهور ، وقد حكى الإجماع على ذلك غير واحد ، منهم إمام الحرمين .
“Dan sedangkan pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecahbelah kalian maka bunuhlah dia seketika siapapun dia.” Yang demikian ini pendapat jumhur (mayoritas) Ulama, dan yang mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma’ tidak hanya satu orang, diantaranya adalah Imam Haramain (Al-Juwaini).”  

Imam As-Sinqithi (w. 1393 H), dalam kitab tafsirnya, Adhwâ’ Al-Bayân fî Îdhâh Al-Qur’ân bi Al-Qur’ân menyatakan:
قول جماهير العلماء من المسلمين : أنه لا يجوز تعدد الإمام الأعظم ، بل يجب كونه واحدا ، وأن لا يتولى على قطر من الأقطار إلا أمراؤه المولون من قِبَلِهِ ، محتجين بما أخرجه مسلم في "صحيحه" من حديث أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما » .
“Pendapat jumhur ‘ulama: Bahwa berbilangnya Khalifah adalah tidak boleh, bahkan wajib berjumlah satu, dan hendaknya tidak berkuasa atas wilayah-wilayah (kekuasaan kaum muslimin) kecuali umara’ yang diangkat olehnya, mereka (jumhur ‘ulama) berhujjah dengan hadits sahih dikeluarkan oleh Imam Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw bersabda: “jika dibai’at dua khalifah maka bunuhlah yang terakhir (diba’at) di antara keduanya.”

Di dalam Al Ahkaam As-Sulthoniyyah, Imam Al Mawardi Mazhab Asy-Syafi’i menyatakan:
وإذا عٌقدت لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما لأنّه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد
“Dan jika diangkat dua orang imam di dua negeri yang berbeda maka aqad imamah keduanya tidak sah, sebab umat tidak boleh memiliki dua imam dalam satu waktu.”

Di dalam Al-Ahkamus Sulthooniyyah, Qodhi Abu Ya’la Al Farraa’ Mazhab Al-Hanbali menyatakan:
ولا يجوز عقد الإمامة لإمامين في بلدين
“Dan tidak dibolehkan menyerahkan Imamah kepada dua orang imam di dua negeri yang berbeda.”
Di dalam Al Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm al-Andalusi Azh-Zhohiri menyatakan:
وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يَكُونَ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ إمَامٌ وَاحِدٌ
“Tidak dihalalkan adanya Imam di seluruh dunia kecuali hanya satu”. 

Al-Marhum Syaikh Abdur Rahman Al-Jazairi di dalam Al-Fiqh ’Alaa Madzaahibil Arba’ah menyatakan:
اتفق الأئمة رحمهم اللّه تعالى على: أن الإمامة فرض، وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان
“Para imam rahimahumullaah Ta’aalaa telah sepakat bahwa Al Imamah itu wajib, dan umat harus memiliki seorang imam yang menegakkan syariat agama serta memberi keadilan bagi orang yang terdzolimi, dan bahwa tidak boleh terdapat dua orang imam bagi umat Islam di seluruh dunia dalam waktu yang sama.”

Penulis buku Al-Imamah Al-’Udzma ’inda Ahli as-Sunnah Wal Jama’ah, Syaikh Sulaiman ad-Dumaiji menyatakan:
المذهب الأول وهو مذهب جماهير المسلمين من أهل السنة والجماعة وغيرهم قديمًا وحديثًا وهو أنه : لا يجوز تعدد الأئمة في زمن واحد
“Madzhab yang pertama adalah madzhab jumhur umat islam dari kalangan Ahlus Sunnah dan selain mereka, baik masa lalu maupun masa sekarang, bahwasannya: tidak dibolehkan adanya banyak imam dalam satu masa.“


Dr. Musthofa Hilmi di dalam kitab Nidzoomul Khilaafah fil Fikril Islamiy menyatakan:
فإنّ الغاية الجوهرية من قيام الدولة الإسلامية هي إيجاد الجهاز السياسي الذي يحقق وحدة الأمة الإسلامية
“Karena sesungguhnya, tujuan dari berdirinya Negara Islam adalah terbentuknya suatu institusi politik (dalam bentuk negara –pent) yang dapat mewujudkan kesatuan umat islam…”

Dr. Sholah Ash-Showi di dalam buku beliau, Al Wajiz fil Fiqhil Khilafah menyatakan:
اتفق جمهور أهل السنّة والجماعة على عدم جواز تعدد الأئمة في الزمن الواحد
“Jumhur Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat mengenai tidak dibolehkannya keberadaan lebih dari satu imam dalam satu masa.”

TENTANG HUKUM FARDHU KIFAYAH


Oleh: Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
Tentang hukum fardhu kifayah perlu dijelaskan berkaitan dengan analisis 1. Penjelasan ini bersumber dari para 'Ulama yang mashur dan banyak dijadikan rujukan pendidikan Islam.
Imam al-Manawi berkata dalam At-Taisîr bi Syarh Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr li Al-Manâwî:
أن ترك إزالة المنكر مع القدرة عظيم الإثم
“Bahwa meninggalkan aktivitas ‘menghilangkan kemungkaran’ adalah besar dosanya jika ada kemampuan untuk itu.”  

Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam:
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما
”Masalah yang kedua. Tidak ada perbedaan menurut ashab kita antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kewajiban. Karena, inklusinya batas kewajiban untuk keduanya”.

Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh tentang fardhu kifayah:
إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …
Maka apabila kewajiban tersebut telah selesai ditunaikan oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kewajiban) tersebut atas yang lain …”.

Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab:  
… إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم
Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kewajiban tsb.) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kewajiban tersebut, mereka semua berdosa. 

Al-'Allamah Asy-Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam Fathul Mu’in tentang fardhu kifayah:
ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.
Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”
Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.

Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim,:
ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ
Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia.  

Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:
 فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ
Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu.

ANALISIS 1: TAK MEMPERJUANGKAN KHILAFAH, BERDOSA?

Oleh: Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
Soal: Jika menegakkan Khilafah hukumnya fardhu kifayah, apakah tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang sudah ada? Apakah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkan Khilafah saat sudah ada yang mengerjakannya? 
Jawab:
Sudah dijelaskan bahwa, pendapat yang paling kuat (rajih) terkait pendirian Khilafah, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Pertanyaannya kemudian, apakah tidak cukup dengan kelompok-kelompok yang sudah mengupayakannya, ataukah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkannya saat kelompok yang mengerjakannya hingga sekarang belum berhasil?

Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memberikan jawaban:
إِذَا فَعَلَهُ مَنْ تَحْصُلُ بِهِمُ الْكِفَايَةُ سَقَطَ الْحَـرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَإِنْ تَرَكُوْهُ كُلُّهُمْ أَثِمُوْا كُلُّهُمْ
Jika fardhu kifayah (jihad) itu dikerjakan oleh orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya, maka beban (kewajiban) tersebut telah gugur dari yang lain. Namun, jika mereka semuanya meninggalkannya, maka semuanya berdosa. 4  
Artinya, yang menjadi ukuran bukan yang penting kewajiban tersebut telah dikerjakan, tetapi dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya hingga berhasil, baru kewajiban tersebut dinyatakan gugur dari yang lain.

Dalam penjelasan lain, tentang amar makruf dan nahi mungkar yang hukumnya juga fardhu kifayah, Imam an-Nawawi menyatakan:
ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ
Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia. 5  
Dengan kata lain, fardhu kifayah dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim; semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakannya hingga benar-benar terwujud. Dalam konteks inilah, maka fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain.

Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:
خَاطَبَ الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ.
(Fardhu kifayah) menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban bagi semuanya. Karena itu, saat mereka secara langsung meninggalkannya, maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh fardhu kifayah. 6  

Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai mujtahid mutlak, telah melakukan ijtihad yang diperlukan untuk merumuskan metode menegakkan kembali Khilafah, yang hukumnya fardhu kifayah. Namun, karena belum ada seorang pun mujtahid sebelum beliau yang merumuskannya, maka ini menjadi fardhu ‘ain bagi beliau. Beliau pun telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, termasuk mendirikan Hizbut Tahrir bersama sejumlah ulama. Sejak berdiri tahun 1953 hingga sekarang, Hizbut Tahrir telah melakukan perjuangan dengan seluruh potensi dan kemampuannya, termasuk dukungan umat yang terus menguat di lebih dari 40 negara. Namun, hingga saat ini Hizb belum juga berhasil.
Maka dari itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini—sebagaimana seruan (khithab) asalnya untuk seluruh kaum Muslim—kembali kepada seluruh umat Islam. Dengan dilaksanakannya kewajiban ini oleh sebagian di antara mereka, yaitu aktivis Hizbut Tahrir bersama umat, maka tetap belum menggugurkan kewajiban ini dari pundak umat Islam. Sebab, kewajiban yang diperintahkan itu belum terwujud. Dengan demikian, mereka yang tidak terlibat dalam kewajiban ini tetap dinyatakan berdosa.

Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh Imam Al-’Allamah As-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:
إنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ.. لأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ الْفَرْضِ قِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ ـ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا ـ قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ قَادِراً عَلىَ الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَر وَهُوَ إِقَامَةُ ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاََّ باِلإقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاََّ بِهِ.
Fardhu kifayah merupakan kewajiban bagi semua orang…Karena melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan kemaslahatan publik. Mereka dituntut untuk menunaikannya secara akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan. Sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu, tetap mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa mengangkat pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan memaksanya untuk menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu. Sebab, orang yang mampu tidak akan melakukannya, kecuali dengan diupayakan (oleh yang tidak mampu). Ini merupakan bab suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. 7
Saat ini, satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah adalah dukungan Ahl an-Nushrah. Bagi Ahl an-Nushrah, menegakkan Khilafah saat ini adalah fardhu ‘ain. Mereka berkewajiban menegakkannya karena mereka adalah orang yang mempunyai kapasitas dan kemampuan. Tugas Hizb adalah terus mencari dukungan dan meyakinkan mereka. Adapun umat secara keseluruhan, yang termasuk kategori kedua, berkewajiban mengupayakan mereka, baik dari kalangan keluarga, orang tua maupun anak-anak mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban memaksa Ahl an-Nushrah agar mereka segera melaksanakan kewajiban mereka. Jika tidak, maka umat Islam pun menanggung dosa.

KHILAFAH:FARDHU KIFAYAH


Oleh: Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
Hukum mengangkat Khalifah (kepala negara), termasuk mendirikan Khilafah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim, yaitu fardhu. Hanya saja, apakah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, memang ada perbedaan pendapat. Al-’Allamah al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qital Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (kepala negara) hukumnya fardhu kifayah.” Dalam kitab al-Furu’, dia menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang paling tepat.” Pada bagian yang lain, dia menegaskan kembali, bahwa mengangkat Imam hukumnya fardhu kifayah menurut mazhab yang sahih.1
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi dan al-Jamal bin Sulaiman; semuanya dari mazhab Syafii, bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.2

Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam Al-Hafidz Abu Zakaria An-Nawawi Mazhab Asy-Syafi’i menyatakan:
اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ فِيْ وُجُوْبِ الإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا: لاَبُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ: تَوَلَّي الإمَامَة فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ
Pasal Kedua tentang Kewajiban Adanya Imamah (Khilafah) dan Penjelasan tentang Tatacaranya: Umat harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela as-Sunnah, dan membela hak-hak orang yang dizalimi, menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya. Aku (an-Nawawi) berkata: Mendirikan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.3

Imam Al-hafidz Zakaria Al-ansohri Mazhab asy-Syafi’i dalam Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, dan Syeikh Sulaiman Al-Bajairimi Mazhab asy-Syafi’i dalam Hasyiyah Al-bajayrimi ala Al-Khatib menyatakan:
 في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية
… tentang syarat-syarat Imam yang agung serta penjelasan metode-metode in’iqadnya Imamah. Mewujudkan Imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah”. 

Imam Abu al-Hasan Al-Mardawiy Al Hanbali dalam Al Inshaaf fii Ma'rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hanbal berkata:
فَرْضُ كِفَايَةٍ ... نَصْبُ الْإِمَامِ.
“Mengangkat Imam itu adalah fardhu kifayah. 

Imam Al-Bahuti Mazhab Hanafi dalam Kasyful Qanaa' ‘an Matnil Iqnaa' berkata:
 ...( نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ )...
“…(mengangkat Imam yang agung itu) atas kaum Muslim (adalah fardhu kifayah).

KHILAFAH: FARDHU

  • Oleh Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
    Kewajiban Khilafah adalah perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an, as Sunnah, dan ijmak Sahabat. Meskipun demikian masih ada yang menyatakan bahwa Khilafah tidak memiliki pijakan nash.
    Pertama, bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan kitabullah dan sunah rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-kitab, as-sunah dan ijmak sahabat :

    Dalil dari al-Qur’an, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :
    فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
    Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)
    وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
    Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
    Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.
    Ketika, Rasulullah Muhammad saw., menjelang hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau saw., mendapatkan wahyu:
    وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
    Katakanlah (Muhammad), “Duhai Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan pula dari tempat keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi-Mu  kekuasaan yang dapat menolong-(ku).” (QS al-Isra’ [17]: 80).
    Berkaitan dengan hal ini Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Qatadah, “Rasul saw. tahu bahwa tidak ada kemampuan yang beliau miliki untuk melakukan hal itu (hijrah) kecuali dengan adanya kekuasaan. Karena itu, beliau memohon kekuasaan yang menolong Kitabullah, hukum Allah, kewajiban dari Allah dan kekuasaan yang menolong penegakkan agama Allah. Sebab, kekuasaan itu merupakan rahmat dari Allah yang Dia berikan di antara hamba-hamba-Nya. Andai saja tanpa kekuasaan niscaya orang kuat akan memakan orang lemah di antara mereka.” (Tafsiral-Quran al-’Azhim, V/111).
    Dalam ayat ini setidaknya ada empat pelajaran yang dapat diambil terkait kebangkitan. Pertama: perlu memahami realitas buruk yang hendak dirubah. Kedua: perlu memahami realitas baik yang dituju sebagai pengganti realitas yang buruk tersebut. Ketiga: menempuh jalan perubahan itu sesuai dengan jalan yang digariskan oleh Allah SWT. Keempat: perlu adanya kekuatan untuk keberhasilan kebangkitan itu.
    Siapapun yang mengkaji sirah Rasulullah saw. akan menemukan setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh beliau sebagai penjelas dari hal tersebut. Beliau terus-menerus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Di dalamnya menyangkut penjelasan tentang kebobrokan kondisi Arab Jahiliah sekaligus tawaran Islam sebagai solusinya. Melalui jalan ini tumbuhlah kesadaran masyarakat, lalu masyarakat menuntut perubahan dengan penuh pengorbanan.
    Nabi saw. tidak berhenti sampai di sini. Beliau pun mendakwahi para pemilik kekuatan (ahlul quwwah) dan meminta mereka untuk mendukung dakwah serta menolong beliau dalam meraih kekuasaan (thalab an-nushrah). Berkat kegigihan beliau, dengan izin Allah SWT, beliau mendapatkan pertolongan dari para pemimpin kabilah di Madinah sehingga tegaklah pemerintahan Islam pertama di Madinah.
    Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.
    Berdasarkan hal ini ada dua jalan yang mutlak ditempuh dalam menyongsong kebangkitan itu. Pertama: membangun kesadaran masyarakat tentang syariah dan Khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi umat Islam dan seluruh umat manusia secara umum. Untuk itu, berbagai upaya pembinaan dan penyadaran perlu dilakukan terus di berbagai tempat dan kesempatan. Masyarakat yang sadar akan bersama-sama berjuang menuntut perubahan dengan tegaknya syariat dan Khilafah. Perjuangan masyarakat yang massif tidak akan pernah ada yang dapat menghalanginya. Satu-satunya pihak yang boleh jadi menjadi batu penghalang adalah para pemilik kekuatan. Untuk itu, perlu dilakukan aktivitas kedua: meraih dukungan dakwah dari para pemilik kekuatan. Oleh sebab itu, upaya thalab an-nushrah harus terus dilakukan dari berbagai pihak pemilik kekuatan, termasuk militer. Melalui jalan ini, insya Allah, kemenangan sebagaimana yang diberikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw. 15 abad lalu akan diberikan kepada umatnya saat ini.

    Adapun dalil dari as-Sunnah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
    رُوي عن نافع قال:قال لي عبد الله بن عمر:سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول:{من خلع يداً من طاعة لقي الله يوم القيامة لاحجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية} رواه مسلم
    “Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka dia pasti akan bertemu dengan Allah pada hari Kiamat tanpa hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia pun mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
    Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim.
    Di dalam hadits ini dijelaskan bahwa kaum muslimin wajib terdapat bai’at pada pundaknya, dan mensifati orang yang meninggal sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at dengan mati jahiliyah. Faktanya, bai’at setelah wafatnya Rasulullah SAW itu hanya dilakukan kepada para khalifah bukan kepada yang lain. Jadi hadits ini menegaskan wajibnya adanya bai’at pada setiap pundak kaum muslim, yakni adanya seorang khalifah yang dengannya terwujudlah bai’at pada setiap pundak kaum muslim.
    Tidaklah mungkin kita bisa melaksanakan semua hukum-hukum semacam qishash, had zina, potong tangan, jihad fi sabilillah dll, tanpa adanya penguasa yang memiliki kekuasaan real. Kaidah syara’ mengatakan:
    ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
    “Apabila suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”
    Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.

    Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.
    Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.

    Menurut ahli Fiqh 
    Abdurrahman Al Jaziri, dalam kitab الفقه على المذاهب الأربعة juz 5 hal 197 mengatakan :
    اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على : أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان…
    Telah sepakat para Imam Madzhab, semoga Allah merahmati mereka, atas: sesungguhnya Imamah (Khilafah) adalah kewajiban dan sesungguhnya haruslah kaum muslimin mempunyai Imam yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama, mengambil haknya orang orang yang didzolimi dari orang-orang yang dzalim, dan (mereka sepakat) bahwa sesungguhnya tidak boleh bagi kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia terdapat dua imam baik mereka sepakat atau bersengketa…

    Dalam kitab الموسوعة الفقهية bab إمَامَةٌ كُبْرَى dinyatakan:
    أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى وُجُوبِ عَقْدِ الْإِمَامَةِ , وَعَلَى أَنَّ الْأُمَّةَ يَجِبُ عَلَيْهَا الِانْقِيَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ , يُقِيمُ فِيهِمْ أَحْكَامَ اللَّهِ , وَيَسُوسُهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ الَّتِي أَتَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
    Umat telah sepakat akan wajibnya mengangkat Imamah (Khilafah), dan umat wajib tunduk kepada imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah atas mereka, dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syara’ yang dibawa Rasulullah SAW.

    Imam 'Alauddin al-Kasaniy Mazhab al-Hanafiy dalam Bada’iush Shanai’ fii Tartibis Syarai’ menyatakan:
    وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، ...
    Dan karena sesungguhnya  mengangkat seorang Imamul a’dzom itu fardhu. Tidak ada perbedaan di antara para ahlul haq (ahlus sunnah) - dan tidak usah dianggap apa yang dikatakan oleh sebagian pengikut qodariyyah - berdasakan ijma’ shahabat r.a. atas hal itu, dan karena  kebutuhan yang sangat urgen terhadap keberadaan imam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah, membela orang yang didzolimi dari yang mendzolimi, menghentikan pertentangan yang merupakan sumber kerusakan, dan lain sebagainya yang tidak mungkin terealisir tanpa adanya seorang imam.” 

    Al-'Allamah Ibnu Hajar al-Haitsami Al-Makki Mazhab Asy-Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya yang berjudul الصواعق المحرقة على أهل الرفض والضلال والزندقة  juz 1 hal 25 menyatakan:
    اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله واختلافهم في التعيين لا يقدح في الإجماع المذكور
    “Ketahuilah juga bahwa para shahabat r.a. telah berijma’ atas wajibnya mengangkat seorang imam pasca selesainya zaman kenabian, bahkan mereka menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting, di mana mereka lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah dari pada menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan perbedaan pendapat tentang penentuan (seorang yang menjadi Khalifah) tidaklah merusak Ijma yang disebutkan tadi".

    Menurut Ulama Ushuluddin
    Imam Ibnu Hazm al-Andalusi Azh-Zhohiriy dalam Al-Fashl fî Al-Milal wa Al-Ahwâ’ wa An-Nihal berkata :
    اتَّفَقَ جَمِیْعُ أَھلِ السُّنَّةِ وَجَمِیْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِیْعُ الشِّیْعَةِ وَجَمِیْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ الْإِمَامَةِ وَأَنَّ الْأُمَّةَ وَاجِبٌ عَلَیھا الْاِنْقِیَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ یُقِیْمُ فِیْھمْ أَحْكَامُ اللهِ وَیَسُوْسُھمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِیْعَةِ الَّتِيْ أَتَى بھا رَسُوْلُ اللهِ حَاشَا النَّجَدَاتِ مِنَ الْخَوَارِجِ
    “Semua Ahlu as-Sunnah, Murji’ah, Syî’ah dan Khawarij sepakat atas wajibnya Al-Imâmah dan wajib bagi umat Islam untuk menaati seorang Imam Adil, yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah mereka, mengurus mereka dengan Syarî’ah yang dibawa Rasulullah SAW, kecuali an-Najadât dari kalangan Khawârij”.

    Syaikh Abdulloh bin ‘Umar bin Sulaimân Ad-Dumaijî dalam Al-Imâmah Al-‘Udhmâ ‘Inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jamâ’ah berkata :
     اتفق السواد الأعظم من المسلمين على وجوب نصب الإمام ، ولم يشذ عن هذا الإجماع إلا النجدات من الخوارج  ، والأصم  ، والفوطي
    Telah bersepakat mayoritas (as-Sawadul A’dzhom) dari kaum muslimin atas wajibnya mengangkat seorang Imam, tidak ada yang menolak Ijma ini kecuali An-Najadât dari kalangan Khawârij serta Al-Ashamm dan Al-Fûthî (dari kalangan Mu’tazilah)”. 

    Menurut ahli Tafsir al-Quran
    Berkata Imam Umar bin Ali bin Adil Ad-Dimasyqi Mazhab Hambali, yang dikenal dengan Ibnu Adil dalam Tafsirul Lubab fii 'Ulumil Kitab, ketika menjelaskan firman Allah Ta'ala surah Al-Baqarah[2] ayat 30:
    إني جاعل في الارض خليفة
    "Sungguh Kami jadikan di bumi itu Khalifah."  
     ... هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه ...
    Ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan Khalifah yang didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikuti dia…”

    Al-Imam Al-Qurthubi Mazhab Maliki, dalam tafsir الجامع لأحكام القرآن ketika menafsirkan QS.al-Baqarah[2]: 30, beliau berkata:
     ”... هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم(1) حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه،..“
    …ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham [1], yang menjadi syariat Asham, dan begitu pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta orang yang mengikuti pendapat dan madzhabnya."
    [1] Al-Asham adalah salah satu tokoh senior Mu’tazilah, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Asham

    Menurut ahli Hadits
    Imam al-Hafidz An-Nawawi Mazhab As-Syafi’I (wafat 676 H) dalam Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim (12/205) mengatakan:
    وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْب خَلِيفَة وَوُجُوبه بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ الْأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ : لَا يَجِب ، وَعَنْ غَيْره أَنَّهُ يَجِب بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ ،
    “Dan mereka (para ulama’ kaum muslimin) telah sepakat bahwasanya wajib bagi kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajiban ini berdasarkan syara’ bukan akal. Adapun yang diriwayatkan dari Al-Asham bahwasanya dia mengatakan: tidak wajib, atau dari selainnya, yang mengatakan wajib berdasarkan akal, bukan syara’, maka dua pandangan itu adalah bathil.”

PENGERTIAN KHILAFAH

Oleh Iskandar Syaiful Badran di Khilafah



Menurut Ulama Lughoh (Bahasa Arab)
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab dan Al-’Allamah Muhammad Murtadho Az-Zabidiy dalam Tajul ‘Arusy min Jawahir al-Qamus, menyatakan: 
والخليفة إمام الرعية
Khalifah adalah Imamnya rakyat”.

Menurut Ulama Fiqih 
Dalam kitab الموسوعة الفقهية bab إمَامَةٌ كُبْرَى disebutkan :
وَالْإِمَامَةُ الْكُبْرَى فِي الِاصْطِلَاحِ : رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي الدِّينِ وَالدُّنْيَا خِلَافَةً عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَسُمِّيَتْ كُبْرَى تَمْيِيزًا لَهَا عَنْ الْإِمَامَةِ الصُّغْرَى , وَهُمْ إمَامَةُ الصَّلَاةِ
(Makna) Imamah kubra secara istilah: Kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti Rasulullah SAW, dikatakan kubra (besar) untuk membedakan dari Imamah sughro (kecil) yakni Imam shalat.

Imam Al-Mawardi Mazhab Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Ahkaam As-Sulthaniyyah hal 3, menyatakan:
الْإِمَامَةُ مَوْضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّينِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا، وَعَقْدُهَا لمن يقومُ بها في الأمة واجب بالاجماع
"Imamah diletakkan (diposisikan) untuk mengganti nabi dalam menjaga agama dan mengurus dunia, dan mengangkat orang yang melakukannya (menjaga agama dan mengurus dunia) ditengah-tengah umat merupakan kewajiban berdasarkan ijma’."

Imam Ar-Ramli dalam Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (dari mazhab Syafi’i) menyatakan:
 الخليفة هو الإمام الأعظم, القائم بخلافة النبوة, فى حراسة الدين وسياسة الدنيا
“Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan Khilafah Nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”

Menurut Ulama Ushuluddin
Imam Al-Haramain dalam Ghiyatsul Umam fil Tiyatsi Adz-Dzulam berkata:
 الإمامة رياسة تامة ، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا ـ .
“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia”. 

Imam Al-Aijiy dalam kitab Al-Mawaqif menyatakan:
هي خلافة الرسول في إقامة الدين بحيث يجب اتباعه على كافة الأمة الامامة) .
“Imamah adalah merupakan Khilafah (pengganti) Rasul SAW (sebagai kepala Negara) dalam menegakkan agama, dimana seluruh umat wajib mengikutinya.”. 

Pada bagian yang lain:
 قال قوم من أصحابنا الإمامة رياسة عامة في أمور الدين والدنيا لشخص من الأشخاص
“Sebagaian kelompok dari shahabat kami menyatakan bahwa Imamah itu adalah kepemimpinan umum dalam berbagai urusan agama dan dunia”. 
Sebutan Lain Khilafah dan Khalifah 
Para Ulama’ menjelaskan kata Khilafah, Imamah atau Imamah Uzhma atau Imarotul Mukminin sebagai makna yang sama. Dan kata Imam, Khalifah, dan Amirul Mu’minin sebagai bentuk sinonim (taraaduf).

Imam Ar-Razi berpendapat mengenai istilah Imamah dan Khilafah dalam kitab Mukhtar Ash-Shihah hal. 186 :
الخلافة أو الإمامة العظمى ، أو إمارة المؤمنين كلها يؤدي معنى واحداً ، وتدل على وظيفة واحدة و هي السلطة العيا للمسلمين
“Khilafah atau Imamah ‘Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu [sama], dan menunjukkan tugas yang satu [sama], yaitu kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin.” (Lihat Muslim Al-Yusuf, Daulah Al-Khilafah Ar-Rasyidah wa Al-‘Alaqat Ad-Dauliyah, hal. 23; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz 8/270).

Imam Al-Hafidz Al-Nawawi dalam Raudhah Ath-Thalibin wa Umdah Al-Muftiin dan Syeikh Khatib Asy-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj menyatakan:
  يجوز أن يقال للإمام : الخليفة ، والإمام ، وأمير المؤمنين ...
“Imam boleh juga disebut dengan Khalifah, Imam atau Amirul Mukminin”.

Al-‘Allamah Abdurrahman Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah hal 97 berkata:
 وإذ قد بيَّنَّا حقيقة هذا المنصف وأنه نيابة عن صاحب الشريعة في حفظ الدين وسياسة الدنيا به تسمى خلافة وإمامة والقائم به خليفة وإمام
“Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini [Khalifah] dan bahwa ia adalah pengganti dari Pemilik syariah [Rasulullah SAW] dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan agama. [Kedudukan ini] dinamakan Khilafah dan Imamah, dan orang yang melaksanakannya [dinamakan] Khalifah dan Imam.”

Dalam Al-Majmu’, Imam An-Nawawi menyatakan bahwa khilafah disebut juga Imamah Kubra:
لان الامامة الكبرى إنما يقصد بها الخلافة كما قدمنا

Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’iy dalam Takmilah-nya atas Kitab Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam An Nawawi. Beliau menegaskan:
 ( الإمامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة )
“Imamah, Khilafah dan Imaratul mukminin itu Mutaradif (sinonim).

Program Pengembangan Diri #1 “Remaja Muslim : Islami, Aktif dan Kreatif“ (Wujudkan Generasi Terbaik Umat)

        Manusia diciptakan dengan sebaik-baik bentuk. Potensi akal yang terdapat pada manusia merupakan aset tak ternilai yang dapat mengantarkannya menjadi insan sejati.  Insan sejati adalah manusia yang akalnya tercerahkan sehingga melahirkan motivasi atau kekuatan super.  Kelahiran motivasi super ini sebagai wujud pilihan manusia untuk menggunakan akal menemukan Allah Sang Maha Kuat sekaligus meningkatkan hubungan dengan-Nya.  Hal inilah yang melahirkan motivasi tak tertandingi untuk meraih kesuksesan hakiki dengan ridho-Nya.  Oleh karena itu, kepemimpinan yang terpancarkan dari kesadaran yang kuat akan hubungan dengan-Nya menjadi penting untuk diintervensikan ke dalam diri dan organisasi agar menjadi asset pengembangan yang luar biasa.
Allah SWT telah memberikan predikat kepada umat muslim sebagai umat yang terbaik (Khoiru ummah) diantara manusia. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bagaimana peradaban kaum muslim mampu menjadi trendsetter peradaban dunia, menjadi pondasi dari peradaban yang kita rasakan sekarang. Nama – nama ilmuwan muslim tercatat abadi dalam sejarah dunia karena kontribusi mereka dalam membangun peradaban dunia. Tentu kita sering mendengar nama Imam Syafi’i, Muhammad Al Fatih (penakluk konstantinopel), Al Khawarizmi, Al Kindi, Ibnu Sina, Al Jazari dan masih banyak lagi nama – nama ilmuwan muslim yang tercatat dengan tinta emas.
Keberhasilan mereka tentu saja tidak terlepas dari kepribadian yang mereka miliki yaitu kepribadian yang dibangun diatas aqidah yang benar yaitu Islam. Aqidah Islam mendorong untuk meraih kesuksesan hakiki dengan ridho-Nya, sehingga mendorong mereka untuk totalitas dalam memberikan yang terbaik untuk umat.
Sementara itu dewasa ini remaja saat ini terjebak dalam kehidupan hedonis dan gaya hidup bebas. Kehidupan remaja ini sangat jauh dari nilai –nilai Islam. Hasil survei yang dilakukan oleh Annisa Fondation (Bandung), 42,3 % pelajar perempuan di Cianjur telah melakukan hubungan seks pra-nikah. (Hidayatullah.com, 12/02/07). Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN) M Masri Muadz bahwa 63% remaja usia SMP-SMA di 33 propinsi di Indonesia telah berzina.
Prestasi yang ditorehkan pun sangat mencemaskan, SDM negeri Indonesia menempati peringkat 109 dari 174 negara (UNDP, 2000). Hanya 11% siswa SMU yang  melanjutkan ke Perguruan Tinggi (APTISI, 2000). Tingginya kasus tawuran antar pelajar, serta meningkatnya penggunaan narkoba di kalangan pelajar.
Maka sudah barang tentu bila kita berdiam diri melihat kondisi tersebut, generasi Indonesia akan menuju kehancuran. Diperlukan upaya preventif untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Kami selaku LDS (Lembaga Dakwah Sekolah) Hizbut Tahrir Indonesia Purwakarta sesuai dengan program kerja nasional untuk melakukan pembinaan kepada generasi penerus bangsa ini. Oleh karena itu kami menawarkan sebuah kegiatan untuk menumbuhkan kepribadian Islami dalam pribadi siswa dalam bentuk Program Pengembangan Diri #1.

Program Pengembangan Diri #1 ini merupakan bentuk pengembangan kepribadian siswa untuk menumbuhkan motivasi super yang Islami. Sebagai program LDS HTI, program ini menawarkan pendekatan interaktif dan learning by doing yang akan merangsang siswa mengenali hakikat dirinya di samping sejumlah potensi dasar yang dimiliki oleh seluruh manusia. Mengenal adalah langkah awal yang akan dilanjutkan dengan kesadaran menerima kenyataan dan berupaya mengembangkan seluruh potensi tanpa mengabaikan sejumlah keterbatasan yang dimiliki. Harapannya, akan terbentuk insan sejati yang memiliki karakter tangguh, berkepedulian sosial yang tinggi dan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun masyarakat.

Siswa akan diarahkan untuk memahami Islam yang benar. Hal ini akan melejitkan potensi yang dimiliki siswa secara Islami, efektif dan efisien. Sebagai pencerahan bagi remaja yang terkungkung oleh kehidupan semacam ini, LDS HTI Purwakarta bermaksud mengadakan Program Pengembangan Diri #1 dengan tema “Remaja Muslim : Islami, Aktif, dan Prestatif”.