Senin, 21 Januari 2013

TENTANG HUKUM FARDHU KIFAYAH


Oleh: Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
Tentang hukum fardhu kifayah perlu dijelaskan berkaitan dengan analisis 1. Penjelasan ini bersumber dari para 'Ulama yang mashur dan banyak dijadikan rujukan pendidikan Islam.
Imam al-Manawi berkata dalam At-Taisîr bi Syarh Al-Jâmi’ Ash-Shaghîr li Al-Manâwî:
أن ترك إزالة المنكر مع القدرة عظيم الإثم
“Bahwa meninggalkan aktivitas ‘menghilangkan kemungkaran’ adalah besar dosanya jika ada kemampuan untuk itu.”  

Imam Saifuddin al-Amidi dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam:
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما
”Masalah yang kedua. Tidak ada perbedaan menurut ashab kita antara wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kewajiban. Karena, inklusinya batas kewajiban untuk keduanya”.

Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh tentang fardhu kifayah:
إذا أقام به من يقع به الكفاية سقط عن الباقين …
Maka apabila kewajiban tersebut telah selesai ditunaikan oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kewajiban) tersebut atas yang lain …”.

Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab:  
… إذا فعله من فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم
Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kewajiban tsb.) telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun apabila mereka semua meninggalkan kewajiban tersebut, mereka semua berdosa. 

Al-'Allamah Asy-Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari dalam Fathul Mu’in tentang fardhu kifayah:
ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه وإن جهلوا.
Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”
Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.

Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim,:
ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ
Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia.  

Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:
 فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ
Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar