Senin, 21 Januari 2013

KHILAFAH: FARDHU

  • Oleh Iskandar Syaiful Badran di Khilafah
    Kewajiban Khilafah adalah perkara yang jelas dalilnya berdasarkan Al Qur’an, as Sunnah, dan ijmak Sahabat. Meskipun demikian masih ada yang menyatakan bahwa Khilafah tidak memiliki pijakan nash.
    Pertama, bahwa sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam adalah sistem Khilafah. Di dalam sistem Khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan kitabullah dan sunah rasul-Nya untuk memerintah (memutuskan perkara) sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Dalil-dalilnya banyak, diambil dari al-kitab, as-sunah dan ijmak sahabat :

    Dalil dari al-Qur’an, bahwa Allah Swt telah berfirman menyeru Rasul saw :
    فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
    Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. al-Maidah [5]: 48)
    وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
    Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.(QS. al-Maidah [5]: 49).
    Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhumnya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas. Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara diantara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Sistem pemerintahan menurut sisi ini adalah sistem Khilafah. Terlebih lagi bahwa penegakan hudud dan seluruh ketentuan hukum syara adalah sesuatu yang wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Dan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Yakni bahwa mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat hukumnya adalah wajib. Penguasa menurut sisi ini adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.
    Ketika, Rasulullah Muhammad saw., menjelang hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau saw., mendapatkan wahyu:
    وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
    Katakanlah (Muhammad), “Duhai Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan pula dari tempat keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi-Mu  kekuasaan yang dapat menolong-(ku).” (QS al-Isra’ [17]: 80).
    Berkaitan dengan hal ini Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Qatadah, “Rasul saw. tahu bahwa tidak ada kemampuan yang beliau miliki untuk melakukan hal itu (hijrah) kecuali dengan adanya kekuasaan. Karena itu, beliau memohon kekuasaan yang menolong Kitabullah, hukum Allah, kewajiban dari Allah dan kekuasaan yang menolong penegakkan agama Allah. Sebab, kekuasaan itu merupakan rahmat dari Allah yang Dia berikan di antara hamba-hamba-Nya. Andai saja tanpa kekuasaan niscaya orang kuat akan memakan orang lemah di antara mereka.” (Tafsiral-Quran al-’Azhim, V/111).
    Dalam ayat ini setidaknya ada empat pelajaran yang dapat diambil terkait kebangkitan. Pertama: perlu memahami realitas buruk yang hendak dirubah. Kedua: perlu memahami realitas baik yang dituju sebagai pengganti realitas yang buruk tersebut. Ketiga: menempuh jalan perubahan itu sesuai dengan jalan yang digariskan oleh Allah SWT. Keempat: perlu adanya kekuatan untuk keberhasilan kebangkitan itu.
    Siapapun yang mengkaji sirah Rasulullah saw. akan menemukan setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh beliau sebagai penjelas dari hal tersebut. Beliau terus-menerus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Di dalamnya menyangkut penjelasan tentang kebobrokan kondisi Arab Jahiliah sekaligus tawaran Islam sebagai solusinya. Melalui jalan ini tumbuhlah kesadaran masyarakat, lalu masyarakat menuntut perubahan dengan penuh pengorbanan.
    Nabi saw. tidak berhenti sampai di sini. Beliau pun mendakwahi para pemilik kekuatan (ahlul quwwah) dan meminta mereka untuk mendukung dakwah serta menolong beliau dalam meraih kekuasaan (thalab an-nushrah). Berkat kegigihan beliau, dengan izin Allah SWT, beliau mendapatkan pertolongan dari para pemimpin kabilah di Madinah sehingga tegaklah pemerintahan Islam pertama di Madinah.
    Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.
    Berdasarkan hal ini ada dua jalan yang mutlak ditempuh dalam menyongsong kebangkitan itu. Pertama: membangun kesadaran masyarakat tentang syariah dan Khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi umat Islam dan seluruh umat manusia secara umum. Untuk itu, berbagai upaya pembinaan dan penyadaran perlu dilakukan terus di berbagai tempat dan kesempatan. Masyarakat yang sadar akan bersama-sama berjuang menuntut perubahan dengan tegaknya syariat dan Khilafah. Perjuangan masyarakat yang massif tidak akan pernah ada yang dapat menghalanginya. Satu-satunya pihak yang boleh jadi menjadi batu penghalang adalah para pemilik kekuatan. Untuk itu, perlu dilakukan aktivitas kedua: meraih dukungan dakwah dari para pemilik kekuatan. Oleh sebab itu, upaya thalab an-nushrah harus terus dilakukan dari berbagai pihak pemilik kekuatan, termasuk militer. Melalui jalan ini, insya Allah, kemenangan sebagaimana yang diberikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw. 15 abad lalu akan diberikan kepada umatnya saat ini.

    Adapun dalil dari as-Sunnah, telah diriwayatkan dari Nafi’, ia berkata : “Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: “aku mendengar Rasulullah saw pernah bersabda :
    رُوي عن نافع قال:قال لي عبد الله بن عمر:سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول:{من خلع يداً من طاعة لقي الله يوم القيامة لاحجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية} رواه مسلم
    “Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan, maka dia pasti akan bertemu dengan Allah pada hari Kiamat tanpa hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia pun mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
    Nabi saw telah mewajibkan kepada setiap muslim agar dipundaknya terdapat baiat. Beliau juga mensifati orang yang mati sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat bahwa ia mati seperti kematian jahiliyah. Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw kecuali kepada Khalifah, bukan yang lain. Hadits tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap muslim. Yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap muslim.
    Di dalam hadits ini dijelaskan bahwa kaum muslimin wajib terdapat bai’at pada pundaknya, dan mensifati orang yang meninggal sedangkan di pundaknya tidak ada bai’at dengan mati jahiliyah. Faktanya, bai’at setelah wafatnya Rasulullah SAW itu hanya dilakukan kepada para khalifah bukan kepada yang lain. Jadi hadits ini menegaskan wajibnya adanya bai’at pada setiap pundak kaum muslim, yakni adanya seorang khalifah yang dengannya terwujudlah bai’at pada setiap pundak kaum muslim.
    Tidaklah mungkin kita bisa melaksanakan semua hukum-hukum semacam qishash, had zina, potong tangan, jihad fi sabilillah dll, tanpa adanya penguasa yang memiliki kekuasaan real. Kaidah syara’ mengatakan:
    ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
    “Apabila suatu kewajiban tidak dapat sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”
    Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.

    Sedangkan dalil berupa ijma’ sahabat, maka para sahabat –ridhwanaLlâh ‘alayhim– telah bersepakat atas keharusan pengangkatan Khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah, lalu Umar bin Khaththab sepeninggal Abu Bakar, dan sepeninggal Umar, Utsman bin Affan. Telah nampak jelas penegasan ijmak sahabat terhadap wajibnya pengangkatan Khalifah dari penundaan pengebumian jenazah Rasulullah saw, lalu mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah (pengganti) Beliau. Sementara mengebumikan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Para sahabat adalah pihak yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw dan mengebumikannya, sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah, sementara sebagian yang lain diam saja atas hal itu dan mereka ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu mengebumikan jenazah Rasul saw. Rasul saw wafat pada waktu dhuha hari Senin, lalu disemayamkan dan belum dikebumikan selama malam Selasa, dan Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikebumikan pada tengah malam, malam Rabu. Jadi pengebumian itu ditunda selama dua malam dan Abu Bakar dibaiat terlebih dahulu sebelum pengebumian jenazah Rasul saw. Maka realita tersebut merupakan ijmak sahabat untuk lebih menyibukkkan diri mengangkat Khalifah dari pada mengebumikan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat Khalifah lebih wajib daripada mengebumikan jenazah. Juga bahwa para sahabat seluruhnya telah berijmak sepanjang kehidupan mereka akan wajibnya mengangkat Khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai Khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas wajibnya mengangkat Khalifah baik ketika Rasul saw wafat, maupun ketika para Khulafaur Rasyidin wafat. Maka ijmak sahabat itu merupakan dalil yang jelas dan kuat atas wajibnya mengangkat Khalifah.
    Maka, jelaslah bahwa mengangkat seorang Khalifah adalah wajib.

    Menurut ahli Fiqh 
    Abdurrahman Al Jaziri, dalam kitab الفقه على المذاهب الأربعة juz 5 hal 197 mengatakan :
    اتفق الأئمة رحمهم الله تعالى على : أن الإمامة فرض وأنه لا بد للمسليمن من إمام يقيم شعائر الدين وينصف المظلومين من الظالمين وعلى أنه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد في جميع الدنيا إمامان لا متفقان ولا مفترقان…
    Telah sepakat para Imam Madzhab, semoga Allah merahmati mereka, atas: sesungguhnya Imamah (Khilafah) adalah kewajiban dan sesungguhnya haruslah kaum muslimin mempunyai Imam yang menegakkan syi’ar-syi’ar agama, mengambil haknya orang orang yang didzolimi dari orang-orang yang dzalim, dan (mereka sepakat) bahwa sesungguhnya tidak boleh bagi kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia terdapat dua imam baik mereka sepakat atau bersengketa…

    Dalam kitab الموسوعة الفقهية bab إمَامَةٌ كُبْرَى dinyatakan:
    أَجْمَعَتْ الْأُمَّةُ عَلَى وُجُوبِ عَقْدِ الْإِمَامَةِ , وَعَلَى أَنَّ الْأُمَّةَ يَجِبُ عَلَيْهَا الِانْقِيَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ , يُقِيمُ فِيهِمْ أَحْكَامَ اللَّهِ , وَيَسُوسُهُمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ الَّتِي أَتَى بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
    Umat telah sepakat akan wajibnya mengangkat Imamah (Khilafah), dan umat wajib tunduk kepada imam yang adil, yang menegakkan hukum-hukum Allah atas mereka, dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syara’ yang dibawa Rasulullah SAW.

    Imam 'Alauddin al-Kasaniy Mazhab al-Hanafiy dalam Bada’iush Shanai’ fii Tartibis Syarai’ menyatakan:
    وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، ...
    Dan karena sesungguhnya  mengangkat seorang Imamul a’dzom itu fardhu. Tidak ada perbedaan di antara para ahlul haq (ahlus sunnah) - dan tidak usah dianggap apa yang dikatakan oleh sebagian pengikut qodariyyah - berdasakan ijma’ shahabat r.a. atas hal itu, dan karena  kebutuhan yang sangat urgen terhadap keberadaan imam, untuk menerapkan hukum-hukum syariah, membela orang yang didzolimi dari yang mendzolimi, menghentikan pertentangan yang merupakan sumber kerusakan, dan lain sebagainya yang tidak mungkin terealisir tanpa adanya seorang imam.” 

    Al-'Allamah Ibnu Hajar al-Haitsami Al-Makki Mazhab Asy-Syafi’i (wafat 974 H) dalam kitabnya yang berjudul الصواعق المحرقة على أهل الرفض والضلال والزندقة  juz 1 hal 25 menyatakan:
    اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات حيث اشتغلوا به عن دفن رسول الله واختلافهم في التعيين لا يقدح في الإجماع المذكور
    “Ketahuilah juga bahwa para shahabat r.a. telah berijma’ atas wajibnya mengangkat seorang imam pasca selesainya zaman kenabian, bahkan mereka menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting, di mana mereka lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah dari pada menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan perbedaan pendapat tentang penentuan (seorang yang menjadi Khalifah) tidaklah merusak Ijma yang disebutkan tadi".

    Menurut Ulama Ushuluddin
    Imam Ibnu Hazm al-Andalusi Azh-Zhohiriy dalam Al-Fashl fî Al-Milal wa Al-Ahwâ’ wa An-Nihal berkata :
    اتَّفَقَ جَمِیْعُ أَھلِ السُّنَّةِ وَجَمِیْعُ الْمُرْجِئَةِ وَجَمِیْعُ الشِّیْعَةِ وَجَمِیْعُ الْخَوَارِجِ عَلَى وُجُوْبِ الْإِمَامَةِ وَأَنَّ الْأُمَّةَ وَاجِبٌ عَلَیھا الْاِنْقِیَادُ لِإِمَامٍ عَادِلٍ یُقِیْمُ فِیْھمْ أَحْكَامُ اللهِ وَیَسُوْسُھمْ بِأَحْكَامِ الشَّرِیْعَةِ الَّتِيْ أَتَى بھا رَسُوْلُ اللهِ حَاشَا النَّجَدَاتِ مِنَ الْخَوَارِجِ
    “Semua Ahlu as-Sunnah, Murji’ah, Syî’ah dan Khawarij sepakat atas wajibnya Al-Imâmah dan wajib bagi umat Islam untuk menaati seorang Imam Adil, yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di tengah-tengah mereka, mengurus mereka dengan Syarî’ah yang dibawa Rasulullah SAW, kecuali an-Najadât dari kalangan Khawârij”.

    Syaikh Abdulloh bin ‘Umar bin Sulaimân Ad-Dumaijî dalam Al-Imâmah Al-‘Udhmâ ‘Inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jamâ’ah berkata :
     اتفق السواد الأعظم من المسلمين على وجوب نصب الإمام ، ولم يشذ عن هذا الإجماع إلا النجدات من الخوارج  ، والأصم  ، والفوطي
    Telah bersepakat mayoritas (as-Sawadul A’dzhom) dari kaum muslimin atas wajibnya mengangkat seorang Imam, tidak ada yang menolak Ijma ini kecuali An-Najadât dari kalangan Khawârij serta Al-Ashamm dan Al-Fûthî (dari kalangan Mu’tazilah)”. 

    Menurut ahli Tafsir al-Quran
    Berkata Imam Umar bin Ali bin Adil Ad-Dimasyqi Mazhab Hambali, yang dikenal dengan Ibnu Adil dalam Tafsirul Lubab fii 'Ulumil Kitab, ketika menjelaskan firman Allah Ta'ala surah Al-Baqarah[2] ayat 30:
    إني جاعل في الارض خليفة
    "Sungguh Kami jadikan di bumi itu Khalifah."  
     ... هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه ...
    Ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan Khalifah yang didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikuti dia…”

    Al-Imam Al-Qurthubi Mazhab Maliki, dalam tafsir الجامع لأحكام القرآن ketika menafsirkan QS.al-Baqarah[2]: 30, beliau berkata:
     ”... هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم(1) حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه،..“
    …ayat ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham [1], yang menjadi syariat Asham, dan begitu pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta orang yang mengikuti pendapat dan madzhabnya."
    [1] Al-Asham adalah salah satu tokoh senior Mu’tazilah, nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Asham

    Menurut ahli Hadits
    Imam al-Hafidz An-Nawawi Mazhab As-Syafi’I (wafat 676 H) dalam Syarh an-Nawawi ‘ala Shohih Muslim (12/205) mengatakan:
    وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْب خَلِيفَة وَوُجُوبه بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ الْأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ : لَا يَجِب ، وَعَنْ غَيْره أَنَّهُ يَجِب بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ ،
    “Dan mereka (para ulama’ kaum muslimin) telah sepakat bahwasanya wajib bagi kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajiban ini berdasarkan syara’ bukan akal. Adapun yang diriwayatkan dari Al-Asham bahwasanya dia mengatakan: tidak wajib, atau dari selainnya, yang mengatakan wajib berdasarkan akal, bukan syara’, maka dua pandangan itu adalah bathil.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar